Penyengat, "Menanti" Jadi Warisan Dunia
PULAU Penyengat di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)
dideklarasikan sebagai pulau bersejarah yang menjadi warisan dunia. Hal
tersebut dilakukan karena Pulau Penyengat merupakan pulau dimana Bahasa
Indonesia lahir yang berasal dari Bahasa Melayu Riau Lingga.
Di
pulau ini pula dimakamkan salah satu pujangga kerajaan yang menjadi
tokoh penting lahirnya Bahasa Indonesia, yakni Raja Ali Haji.
Deklarasi
Pulau Penyengat dilakukan dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2015
yang dilaksanakan di Batam dan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 5-10
Februari 2015. Deklarasi tersebut berisi tentang apresiasi terhadap
Bahasa Indonesia dan dibacakan langsung oleh Ketua Lembaga Adat Melayu
Kepulauan Riau, Datuk Raja Haji Abdul Razak.
Dari rangkaian acara
yang dilaksanakan, Panitia HPN juga menyelenggarakan Konvensi Bahasa
dan Budaya dengan tema besar “Menjadikan Penyengat sebagai Warisan
Dunia.”Konvensi dilaksanakan pada Jumat, 6 Februari 2015, di Gedung
Daerah, Tanjungpinang.
Pada hari yang sama perjuangan untuk
menjulangkan Pulau Penyengat Indera Sakti menjadi Warisan Dunia (World
Heritage) mulai digaungkan bersempena Puncak Peringatan HPN 2015 itu.
Pada
perhelatan akbar insan pers sepersada Nusantara itu pula
dideklarasikan dua hal penting. Pertama,bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu Riau-Lingga (Kepulauan Riau).
Kedua, Pulau
Penyengat Indera Sakti diusulkan untuk segera diperjuangkan menjadi
Pulau Warisan Dunia. Deklarasi itu dibacakan di Pulau Penyengat Indera
Sakti, tepatnya di depan Masjid Sultan Riau, sehingga disebut juga
Deklarasi Penyengat.
Pulau Penyengat Indera Sakti dan Kesultanan
Riau-Lingga memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi
negara dan bangsa kita. Hadiah berharga utama Kesultanan Riau-Lingga
atau Kepulauan Riau, khususnya Pulau Penyengat Indera Sakti (The Island
of Mars atau Peningat of Mars, dua nama terakhir itu merupakan
penyebutan oleh orang Inggris untuk Pulau Penyengat) kepada Indonesia
tercinta adalah bahasa nasional.
Hal itu dimungkinkan karena
pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu tinggi (baku) telah dilakukan
secara intensif di pulau nan comel itu dengan manajemen modern pada abad
ke-19, jauh sebelum adanya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di
negara kita.
Dari kerja keras dan mulia itu telah dihasilkan
karya-karya linguistik meliputi tata bahasa, ejaan, dan kamus (Raja Ali
Haji), etimologi (Haji Ibrahim), morfologi dan semantik (Raja Ali
Kelana), dan pelajaran bahasa (Abu Muhammad Adnan). Bahkan, Raja Ali
Haji dan Haji Ibrahim turut mengerjakan kamus dwibahasa: Melayu Belanda
dan Belanda-Melayu bersama H von de Wall.
Karena upaya
pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu yang dikelola secara modern dan
baik itu, karya-karya mereka menjadi begitu istimewa dibandingkan
dengan karya-karya para penulis Melayu di kawasan lain yang tak
menghasilkan karya ilmu bahasa.
Pada masa itu telah dilakukan
upaya pembakuan bahasa Melayu.Alhasil, bahasa Melayu tinggi Riau-Lingga
itu menjadi yang paling terkemuka di antara dialek Melayu yang ada di
nusantara ini.
Atas dasar itulah, bahasa Melayu baku
Riau-Lingga (Kepulauan Riau) yang dibina di Pulau Penyengat Indera Sakti
diangkat menjadi bahasa Indonesia, yang berkedudukan sebagai bahasa
nasional sekaligus bahasa negara Republik Indonesia, bahkan menjadi
bahasa nasional negara-negara ASEAN yang lain: Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam.
Tamadun Melayu Riau-Lingga juga telah
menyumbangkan khazanah kesusastraannya kepada negara tercinta ini.
Pelbagai genre kesusastraan yang dibina dan telah berkembang lama di
kawasan ini sekaligus telah bersebati dengan kesusastraan nasional.
Jenis-jenis
kesusastraan seperti mantra, pantun, hikayat, syair, gurindam, dan
peribahasa dengan pelbagai variasinya secara otomatis menjadi bagian
dari kesusastraan Indonesia. Jenis kesusastraan itu pun menjadi dasar
bagi bertumbuh dan berkembangnya kesusastraan modern Indonesia.
Tak
kurang pentingnya khazanah tamadun Melayu berupa seni pertunjukan yang
terbina sejak Kesultanan Riau-Lingga.Di dalam kelompok khazanah itu
adalah seni vokal (pelbagai lagu Melayu), seni musik, seni peran atau
teater (Makyong, Mendu, Teater Bangsawan, boria, dan zikir barat), dan
seni tari.
Seni terapan warisan Riau-Lingga juga bernilai budaya
yang sangat tinggi.Di antaranya yang berkembang di daerah ini adalah
songket Melayu, tudung mantur, batik Melayu, kain telepok, arsitektur
tradisional Melayu, ragam hias Melayu, dan sebagainya. Warisan budaya
itu juga sangat penting artinya bagi bangsa kita.
Sumbangan
berikutnya: nilai-nilai budaya dan norma berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini, dua kebudayaan utama Indonesia memang telah
memberikan sumbangan yang sangat signifikan yaitu budaya Jawa dan budaya
Melayu.
Adab sopan-santun Melayu yang mengutamakan kehalusan
budi menjadi salah satu rujukan dalam pergaulan hidup bangsa kita. Itu
dimungkinkan karena pada zaman Kesultanan Riau-Lingga persoalan ini
mendapat perhatian utama dari para penguasa semasa sebagai bagian dari
pembinaan tamadun bangsa.
Perhatikanlah kata-kata bahasa Melayu
yang bermakna ‘duduk’, misalnya. Di dalamnya ada bersila, bersimpuh,
berlunjur, mencangkung (jongkok), dan berjuntai.
Nuansa makna
kata-kata itu menunjukkan perbedaan perilaku ikutannya, sesuai dengan
patutnya, yang harus diikuti dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Dalam
majelis yang beradat lagi beradab, laki-laki hanya boleh bersila dan
dalam kedudukan yang sama perempuan hanya boleh bersimpuh. Dalam konteks
itu, laki-laki jangan coba-coba bersimpuh kalau tak mau disebut pondan
atau banci dan perempuan jangan pula bersila jika tak hendak disebut
macam jantan.
Dalam peristiwa yang sama, tak seorang pun boleh
berlunjur, berjuntai, apa lagi mencangkung. Silalah berlunjur ketika
bersembang dengan kawan seumur, berjuntai tatkala bersantai-santai, atau
mencangkung waktu merenung setengah termenung. Itulah sebabnya, bangsa
Indonesia pernah sangat disegani oleh bangsa lain karena dinilai sebagai
satu di antara bangsa yang paling sopan di dunia.
Pelbagai jenis
makanan tradisional Melayu ternyata sangat digemari oleh bangsa kita
secara nasional, pun bangsa asing. Sebutlah nasi minyak, nasi dagang,
nasi lemak, bubur pedas, bubur berlauk, gulai asam pedas dengan pelbagai
versi rasanya, gulai kormak, gulai kari, otak-otak, laksa, roti kirai
(roti jala), roti canai, pelbagai kue tradisional Melayu, dan minuman
khas anekarasa senantiasa dicari oleh para pelancong domestik dan
mancanegara yang berkunjung ke Kepulauan Riau.
Beraneka ragam
makanan dan juadah itu, baik kering maupun basah, tak hanya dijadikan
buah tangan, tetapi lebih-lebih menjadi “buah mulut” yang menaikkan
selera bersantap.
Makam Raja Ali Haji di Tanjungpinang
Sistem pemerintahan berotonomi luas kali pertama diterapkan oleh
Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang
(1761—1812).Otonomi itu mulai diberlakukan ketika Baginda memindahkan
pusat pemerintahan dari Hulu Riau di Pulau Bintan ke Daik di Pulau
Lingga pada 1787.
Dalam hal ini, pemimpin daerah otonomi yang
berada di bawah pemerintahan Yang Dipertuan Muda (Pulau Penyengat dengan
seluruh daerah takluknya sampai ke Pulau Tujuh), Temenggung (Johor dan
Singapura), dan Bendahara (Pahang dan daerah takluknya) diberi wewenang
penuh untuk mengelola dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan
potensinya masing-masing.
Dalam pada itu, Sultan mengelola
pembangunan pusat kesultanan di Lingga. Baginda baru berkoordinasi
dengan para bawahannya dalam hal-hal penting seperti perang,
pengangkatan pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah,
penyelesaian perselisihan internal, dan sebagainya.Karena tak biasa
diterapkan dalam sistem monarki absolut, ada peneliti terheran-heran dan
menganggap aneh kebijakan Sultan Mahmud Riayat Syah itu.
Kenyataannya,
penerapan sistem pemerintahan berotonomi luas itu menyebabkan
perekonomian Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (nama lengkap kerajaan
itu sebelum Johor, Pahang, dan Singapura berpisah dengan kita) maju
pesat kala itu sehingga rakyat sejahtera dan negari pun makmur secara
merata.
Sekarang sistem pemerintahan berotonomi itu pun
diterapkan di Indonesia, sesuatu yang telah dilakukan oleh Kesultanan
Riau-Lingga lebih dari 200 tahun yang lalu. Sayangnya, yang diterapkan
pemerintah kita kini bukanlah otonomi luas seperti yang dilakukan oleh
Sultan Mahmud Riayat Syah sehingga hasilnya pun jauh dari optimal, yang
pada gilirannya banyak menimbulkan kekecewaan bagi daerah-daerah.
Para
cendekiawan Riau-Lingga juga telah melakukan kajian-kajian perintisan
ilmu-ilmu modern. Di antara ilmu itu adalah (1) linguistik, (2) politik,
(3) hukum, (4) pemerintahan, (5) astrologi, (6) kedokteran, (7)
sejarah, (8) filsafat, (8) jurnalistik, dan sudah barang tentu (8) ilmu
agama (Islam).
Karya-karya awal itu amat penting artinya untuk
melihat kesinambungannya dengan perkembangan masa kini, di samping nilai
historisnya.
Kepeloporan juga ditunjukkan oleh karya-karya yang
ditulis oleh Aisyah Sulaiman yang memperjuangkan emansipasi perempuan.
Aisyah Sulaiman tak menuliskan pikiran, gagasan, dan pengalamannya dalam
bentuk kumpulan surat. Akan tetapi, kesemuanya ditulisnya dalam empat
buku syair naratif yang utuh dan memukau, tak ubahnya novel dalam sastra
modern.
Sesuai dengan visi dan pemikiran memartabatkan kaum
perempuan yang diperjuangkannya, dengan karya-karyanya itu, cucu Raja
Ali Haji itu patut mendapatkan gelar pahlawan emansipasi perempuan.Dan,
dengan karya-karyanya itu, Aisyah Sulaiman pun sudah sepatutnya
dinobatkan sebagai pelopor kesusastraan modern Indonesia.
Kaum
perempuan yang membaca secara tunak karya-karya istri Khalid Hitam (Raja
Khalid ibni Raja Hasan) itu pasti akan sangat bangga dilahirkan sebagai
seorang perempuan. Menariknya lagi, Aisyah Sulaiman sampai akhir
hayatnya terbukti sebagai istri yang sangat mencintai dan setia bangat
terhadap suaminya.
Segala godaan dari laki-laki yang ditujukan
kepadanya setelah suaminya meninggal, ditepisnya secara sopan dan
anggun.Padahal, semua laki-laki yang menggodanya berasal dari kalangan
atas dalam ukuran tahta dan harta. Ketauladanan kesetiaan itu pun
membuat nama beliau tetap bersinar sampai ke hari ini.
Kesultanan
Riau-Lingga juga mewariskan semangat dan nilai-nilai kejuangan dan
kepahlawanan dalam perlawanan fisik terhadap penjajah.Di antara tokoh
yang menjadi ikon kepeloporannya adalah Raja Haji Fisabilillah, YDM IV
Riau-Lingga, dan Sultan Mahmud Riayat Syah, YDB Riau-Lingga.
Raja
Haji Fisabilillah telah memenangi Perang Riau dan menghancurkan pasukan
musuh pada 6 Januari 1784.Akan tetapi, beliau dan Sultan Mahmud Riayat
Syah tak puas kalau hanya berjaya menghalau Belanda dari kawasan
Riau-Lingga.
Matlamat akhirnya adalah menghalau Belanda dari
nusantara. Untuk itu, beliau berhasil membangun koalisi nusantara,
kecuali tak sempat berhubungan dengan para raja di Pulau Jawa.
Dengan
kekuatan itu disertai semangat juang yang tinggi, beliau memburu
Belanda di sarang musuh, Teluk Ketapang, Melaka, dalam pertempuran yang
sangat heroik. Takdir Allah, beliau syahid di medan juang pada 18 Juni
1784.
Sultan Mahmud Riayat Syah melanjutkan misi menghalau
penjajah dari bumi nusantara. Baginda menggunakan strategi yang berbeda
yaitu dengan menerapkan perang gerilya laut setelah terlebih dahulu
memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga.
Alhasil, pada
1795 Inggris dan Belanda mengakui kekuasaan penuh Sultan Mahmud Riayat
Syah dan kemerdekaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Perang gerilya laut itu
berlangsung pada 1787—1795, sekitar delapan tahun.
Kepada musuh
yang datang mengakui kedaulatan tanah airnya, Baginda hanya mengucapkan
ungkapan basa-basi politik, “Terima kasih!” sebuah ungkapan yang menusuk
jika musuh itu memahami sopan-santun Melayu.
Sampai dengan
mangkatnya (1812), Belanda tak pernah berhasil menyentuh Sultan Mahmud
Riayat Syah walaupun mereka sangat bernafsu untuk menangkap, membuang,
dan atau membunuh Baginda Sultan.
Pada 1885 para intelektual
Kesultanan Riau-Lingga mendirikan organisasi Rusydiah Kelab yang
berpusat di Pulau Penyengat Indera Sakti.Organisasi ini bergerak dalam
bidang kebudayaan. Para pengurusnya terdiri atas kalangan intelektual
yang berasal dari pelbagai daerah di nusantara, antara lain, Melayu,
Bugis, keturunan Arab, dan Sumatera.
Hasan Junus (2002:219),
budayawan dan sastrawan ternama semasa hidupnya, menyebut kelompok itu
sebagai kelompok penekan atau pressure group. Dalam praktik
perjuangannya, Rusydiah Kelab senantiasa mengeritik kebijakan Kompeni
Belanda, bahkan, kebijakan sultan juga.
Perselisihan sering
terjadi antara mereka dan pejabat Kompeni Belanda. Tujuannya tiada lain
untuk menghalau Kompeni Belanda dari nusantara. Media yang mereka
gunakan untuk menyuarakan pikiran-pikiran perlawanan itu adalah berkala
Al-Imam, yang telah dirancang pada 1896.Pada 1906 Al-Imam diterbitkan di
Singapura.
Jelaslah bahwa Rusydiah Kelab merupakan perintis
pergerakan kebangsaan, yang didirikan lebih kurang 23 tahun sebelum
berdirinya Budi Utomo di Jawa.
Pada 1906 didirikan Asy-Syarkah
al-Ahmadiah atau Serikat Dagang Ahmadi di Pulau Midai, kawasan Pulau
Tujuh, Kabupaten Natuna sekarang.
Serikat dagang berbentuk
koperasi ini mula-mula bergerak dalam bidang perdagangan kopra, yang
kemudian meluaskan usahanya dengan mendirikan badan penerbit dan
percetakan Mathba’at al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press pada 3 Desember
1920 di Minto Road, Singapura. Dengan demikian, Serikat Dagang Ahmadi
merupakan perintis koperasi di Indonesia.
Paling unik dari Pulau
Penyengat adalah pulau mungil nan indah itu dijadikan maskawin (mahar)
oleh Sultan Mahmud Riayat Syah untuk istri Baginda Engku Puteri Raja
Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah. Bersamaan dengan itu, Sultan juga
menggesa pembangunannya menjadi sebuah bandar (kota) baru yang lengkap
dengan segala fasilitasnya kala itu.
Setelah selesai dibangun
Pulau Penyengat disebut juga Penyengat Bandar Riau. Di samping sebagai
simbol keharmonisan perhubungan kekeluargaan antara Melayu dan Bugis di
dalam kerajaannya, mahar yang istimewa itu tentulah menjadi bukti
cinta-kasih sang suami kepada sang istrinya.
Keistimewaan
Penyengat Indera Sakti itu menjadi sangat berbeda karena hanya ada
satu-satunya di dunia. Tak pernah tercatat di dalam sejarah bangsa mana
pun sampai setakat ini, kecuali dalam sejarah bangsa kita yang dilakukan
oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, bahwa seorang suami memberikan maskawin
(mahar) berupa sebuah pulau kepada istrinya.
Kenyataan itu
membuat keistimewaan Pulau Penyengat menjadi melegenda, di samping
pelbagai capaian cemerlangnya pada masa lalu, terutama capaian
pengembangan tradisi intelektual (literasi) yang menjadi ciri khas
tamadun Melayu zaman berzaman.
Oleh sebab itu, Pulau Penyengat
Indera Sakti tak hanya menjadi bagian dari warisan nasional Indonesia,
tetapi memang sangat patut diperjuangkan untuk menjadi Pulau Warisan
Dunia.
Sebelumnya, sejarawan Dr Mukhlis Paeni mengatakan, Pulau
Penyengat penting untuk diajukan sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO.
Pasalnya, bukan baru pertama Pulau Penyengat diajukan sebagai warisan
budaya.Ternyata sejak 1995, Pulau Penyengat sudah diajukan untuk itu dan
masih ada di daftar tunggu nominasi yang diajukan.
"Kita sudah
miliki 5.000 daftar yang sudah diajukan. Setelah ini, kami berharap
Pemprov Kepri membentuk tim khusus untuk karya Raja Ali Haji dan Pulau
Penyengat sebagai warisan budaya dunia," katanya.
Kendati
demikian, untuk bisa masuk sebagai warisan budaya dunia, dari setiap
negara UNESCO hanya menerima dua nominasi saja setiap tahunnya.(piramidnews)